Epilepsi bisa terjadi pada siapa pun, anak-anak, orang dewasa, orang lanjut usia, bayi baru lahir, bahkan bayi yang belum dilahirkan sekalipun. Masalah pada kehamilan bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan otak janin, yang membuatnya menyandang epilepsi sejak pertama kali dilahirkan.
"Epilepsi bisa terjadi pada siapa saja, bahkan sejak dari kandungan. Jadi bayi yang baru lahir sudah kejang-kejang," jelas dr Anna Marita Gelgel, SpS (K), Ketua Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia (Perpei), dalam acara media edukasi 'Patuh Pada Pengobatan Agar Epilepsi Terkontrol', di Hotel JW Marriot.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan bayi dalam kandungan dapat mengalami epilepsi, salah satunya adalah masalah pada kehamilan serta faktor genetik.
Masalah kehamilan yang bisa menyebabkan epilepsi antara lain infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus/CMV dan Herpes simplex) dan asfiksia (kekurangan oksigen).
"Kalau bayinya tidak menangis saat dilahirkan atau asfiksia (karena kekurangan oksigen yang bisa merusak otak), maka kemungkinan besar bayi bisa mengalami epilepsi. Juga sewaktu hamil ibunya mengalami infeksi TORCH," ujar dr Irawan Mangunatmadja, SpA (K), dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Sedangkan genetik, lanjut dr Irawan, bisa dicurigai bila orangtuanya juga adalah penyandang epilepsi atau sang bayi memperlihatkan tanda-tanda lahir di tubuh yang dalam beberapa bula disertai dengan kejang-kejang atau serangan epilepsi lainnya.
Selain itu, epilepsi juga bisa terjadi karena kesalahan pada proses persalinan. Pertolongan persalinan yang terlambat dapat menyebabkan kerusakan pada otak bayi, sehingga dapat memicu terjadinya epilepsi.
"Epilepsi paling banyak di Jakarta. Epilepsi akan banyak bila di kota tersebut angka kecelakaan atau trauma kepala tinggi, juga pertolongan persalinan yang buruk," tutur dr Anna.s
Selain memang bawaan sejak lahir, anak-anak juga bisa menjadi penyandang epilepsi bila mengalami infeksi pada saraf pusat, seperti ensefalitis (peradangan otak yang disebabkan infeksi virus, bakteri, jamur, atau infeksi parasit) dan meningistis TBC, serta tumor pada anak.
Epilepsi akan terus berlanjut hingga dewasa bila tidak ditangani dan diobati dengan baik. Bila kejang epilepsi pada anak sudah tidak terjadi sebelum usia 18 tahun, maka ia tidak perlu minum obat seumur hidup. Namun bila kejang masih terjadi hingga lebih dari usia 18 tahun, maka si anak dimungkinkan harus mengonsumsi obat anti epilepsi (OAE) seumur hidup.
"Epilepsi bisa terjadi pada siapa saja, bahkan sejak dari kandungan. Jadi bayi yang baru lahir sudah kejang-kejang," jelas dr Anna Marita Gelgel, SpS (K), Ketua Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia (Perpei), dalam acara media edukasi 'Patuh Pada Pengobatan Agar Epilepsi Terkontrol', di Hotel JW Marriot.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan bayi dalam kandungan dapat mengalami epilepsi, salah satunya adalah masalah pada kehamilan serta faktor genetik.
Masalah kehamilan yang bisa menyebabkan epilepsi antara lain infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus/CMV dan Herpes simplex) dan asfiksia (kekurangan oksigen).
"Kalau bayinya tidak menangis saat dilahirkan atau asfiksia (karena kekurangan oksigen yang bisa merusak otak), maka kemungkinan besar bayi bisa mengalami epilepsi. Juga sewaktu hamil ibunya mengalami infeksi TORCH," ujar dr Irawan Mangunatmadja, SpA (K), dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Sedangkan genetik, lanjut dr Irawan, bisa dicurigai bila orangtuanya juga adalah penyandang epilepsi atau sang bayi memperlihatkan tanda-tanda lahir di tubuh yang dalam beberapa bula disertai dengan kejang-kejang atau serangan epilepsi lainnya.
Selain itu, epilepsi juga bisa terjadi karena kesalahan pada proses persalinan. Pertolongan persalinan yang terlambat dapat menyebabkan kerusakan pada otak bayi, sehingga dapat memicu terjadinya epilepsi.
"Epilepsi paling banyak di Jakarta. Epilepsi akan banyak bila di kota tersebut angka kecelakaan atau trauma kepala tinggi, juga pertolongan persalinan yang buruk," tutur dr Anna.s
Selain memang bawaan sejak lahir, anak-anak juga bisa menjadi penyandang epilepsi bila mengalami infeksi pada saraf pusat, seperti ensefalitis (peradangan otak yang disebabkan infeksi virus, bakteri, jamur, atau infeksi parasit) dan meningistis TBC, serta tumor pada anak.
Epilepsi akan terus berlanjut hingga dewasa bila tidak ditangani dan diobati dengan baik. Bila kejang epilepsi pada anak sudah tidak terjadi sebelum usia 18 tahun, maka ia tidak perlu minum obat seumur hidup. Namun bila kejang masih terjadi hingga lebih dari usia 18 tahun, maka si anak dimungkinkan harus mengonsumsi obat anti epilepsi (OAE) seumur hidup.