Kasus kematian tiga tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Lombok Timur yang tewas ditembak polisi Diraja Malaysia karena diduga terlibat tindak kriminal menyita perhatian masyarakat luas. Apalagi, ketiga TKI itu diduga nenjadi korban penjualan organ tubuh lantaran ada jahitan yang tidak wajar dalam ketiga jasadnya.
“Kalau para TKI itu benar menjadi korban perdagangan organ, sangat disayangkan sekali. Kasihan nasib mereka,” ujar salah seorang warga Solo, Diah, saat ditemui Espos, Sabtu (28/4).
Bersamaan dengan meledaknya kasus tersebut banyak media yang melansir harga organ tubuh yang bernilai cukup fantastis. Satu organ bisa dihargai ratusan hingga jutaan rupiah.
Harga yang fantastis itu membuat beberapa orang berniat mendonorkan organ dengan harap mendapat imbalan yang tinggi. Di wall Facebook Komunitas Donor Ginjal misalnya banyak orang yang menawarkan diri mendonorkan organ namun meminta kompensasi ratusan juta rupiah. Tindakan seperti itu menurut Konsultan Aspek Hukum dan Etika Kesehatan, Dr Hari Wujoso dr SpF MM tidak dibenarkan.
“Organ tidak boleh diperjualbelikan karena bertentangan dengan hukum dan pelakunya bisa dikenai sanksi. Tapi kalau tujuan awalnya mulia ingin menolong orang terus dia dapat tali asih misal dibiaya pendidikannya masih bisa ditolelir,” ujar Hari saat ditemui Espos, Jumat (27/4).
Menurut Hari seharusnya antara pendonor dan aseptor sebaiknya tidak saling tahu supaya tidak terjadi jual-beli organ, karena itu kerahasiaan medis harus dijaga. Hari mengatakan beredarnya harga jual organ tubuh menandakan adanya pasar gelap perdagangan organ di dunia. Banyaknya pasien yang membutuhkan cangkok organ namun pendonor minim terutama organ jantung bisa memungkinkan risiko terjadinya tindak kriminal seperti pembunuhan.
“Donor jantung tidak bisa dilakukan kecuali kalau orangnya sudah mati. Dalam keadaan terdesak peluang terjadinya tindak kriminal sangat mungkin, apalagi kalau organnya memiliki kecocokan,” ujarnya.
Kecuali, lanjutnya, jika orang yang meninggal sebelumnya telah mewasiatkan akan mendonorkan organnya. Hal tersebut menurutnya tidak menyalahi peraturan. Secara agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memperbolehkan mayat bisa dipakai untuk autopsi bahan proses pendidikan.
“Untuk proses pendidikan saja bolehkan, apalagi ini untuk menolong orang lain. Orang yang berwasiat mendonorkan organnya harus memberikan wasiat tertulis dan nanti ada sertifikatnya. Tapi orang yang mau seperti itu jumlahnya masih terbatas karena terkendala aspek budaya dan agama,”
“Kalau para TKI itu benar menjadi korban perdagangan organ, sangat disayangkan sekali. Kasihan nasib mereka,” ujar salah seorang warga Solo, Diah, saat ditemui Espos, Sabtu (28/4).
Bersamaan dengan meledaknya kasus tersebut banyak media yang melansir harga organ tubuh yang bernilai cukup fantastis. Satu organ bisa dihargai ratusan hingga jutaan rupiah.
Harga yang fantastis itu membuat beberapa orang berniat mendonorkan organ dengan harap mendapat imbalan yang tinggi. Di wall Facebook Komunitas Donor Ginjal misalnya banyak orang yang menawarkan diri mendonorkan organ namun meminta kompensasi ratusan juta rupiah. Tindakan seperti itu menurut Konsultan Aspek Hukum dan Etika Kesehatan, Dr Hari Wujoso dr SpF MM tidak dibenarkan.
“Organ tidak boleh diperjualbelikan karena bertentangan dengan hukum dan pelakunya bisa dikenai sanksi. Tapi kalau tujuan awalnya mulia ingin menolong orang terus dia dapat tali asih misal dibiaya pendidikannya masih bisa ditolelir,” ujar Hari saat ditemui Espos, Jumat (27/4).
Menurut Hari seharusnya antara pendonor dan aseptor sebaiknya tidak saling tahu supaya tidak terjadi jual-beli organ, karena itu kerahasiaan medis harus dijaga. Hari mengatakan beredarnya harga jual organ tubuh menandakan adanya pasar gelap perdagangan organ di dunia. Banyaknya pasien yang membutuhkan cangkok organ namun pendonor minim terutama organ jantung bisa memungkinkan risiko terjadinya tindak kriminal seperti pembunuhan.
“Donor jantung tidak bisa dilakukan kecuali kalau orangnya sudah mati. Dalam keadaan terdesak peluang terjadinya tindak kriminal sangat mungkin, apalagi kalau organnya memiliki kecocokan,” ujarnya.
Kecuali, lanjutnya, jika orang yang meninggal sebelumnya telah mewasiatkan akan mendonorkan organnya. Hal tersebut menurutnya tidak menyalahi peraturan. Secara agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memperbolehkan mayat bisa dipakai untuk autopsi bahan proses pendidikan.
“Untuk proses pendidikan saja bolehkan, apalagi ini untuk menolong orang lain. Orang yang berwasiat mendonorkan organnya harus memberikan wasiat tertulis dan nanti ada sertifikatnya. Tapi orang yang mau seperti itu jumlahnya masih terbatas karena terkendala aspek budaya dan agama,”